Siapakah yang membuatku ada, bagaimana mungkin tiba-tiba aku ada di dunia ini, atas apakah yang membuatku ada, untuk apa aku ada…
Aku mulai berpikir saat umur 22 tahun,
Pertama… Siapakah yang membuatku ada…
Yah, aku adalah manusia yang bervagina dan sangat biasa. Tak ada kelebihan dalam fisikku. Aku ada karena pertemuan sel sperma ayahku dan sel telur ibuku, lalu aku menjadi vetus yang berkembang dalam rahim ibuku, dan aku dilahirkan menjadi bayi dan mulai menghirup udara, menandakan aku telah bernapas, hidup sebagai manusia dan menjadi bagian dari dunia ini.
Aku bercermin, aku melihat setiap detail tubuhku, semua fungsi organku yang nampak, ketika melihat adanya diriku dalam cermin itu, aku tahu otakku bekerja untuk memahami keberaadaan apa yang bisa kulihat, dan kusebut saat itu aku berpikir. Tapi satu yang tak bisa kuraba dengan pikiran, yakni sesuatu yang tak berwujud, sesuatu yang menggerakkan tanganku, mengedipkan mataku, membuat jantungku berdetak, sesuatu yang terasa membuat dalam dadaku sakit. Dan dari perkataan orang, guru, kitab suci, buku. Bahwa apa yang bisa kulihat hanyalah fisik, ada yang tak bisa kulihat, yakni keberadaan nyawa yang mendekam dalam tubuhku, adanya jiwa yang membuatku bisa merasakan sesuatu. Berdasarkan kitab suci, saat aku masih berada dalam rahim ibuku, Tuhan meniupkan roh kepadaku, itu yang membuatku hidup. Saat melihat orang diam tak berdaya, tubuhnya kaku, jantungnya tak lagi berdetak, ia tak bisa menggerakkan sedikitpun tubuhnya, roh itu telah menghilang, Tuhan telah mencabut nyawanya sehingga ia mati, lalu membusuk, dan tubuhnya seperti tubuhku yang kulihat dalam cermin akan musnah. Sehingga aku yakin, ada suatu zat yang mengolah roh tersebut, dan memenjarakannya dalam tubuh hasil pertemuan sel sperma ayahku dan sel telur tubuhku, dari sinilah aku ada di dunia ini. Lalu aku percaya kuasa Tuhan. Tuhan membuatku ada dengan memberi roh atas fungsi reproduksi ayah dan ibuku, aku tahu tanpa Tuhan mengutus, sel sperma ayah dan sel telur ibuku terus bertemu, tanpa adanya roh yang ditupkan aku tak menjadi apa-apa dan segera musnah saat masih menjadi vetus.
Kedua… Bagaimana mungkin aku tiba-tiba ada…
Sebelum umur 22 tahun, aku adalah orang yang selalu menuntut Tuhan, Tuhan tak adil menciptakan aku, mengapa aku diciptakan dengan kondisi seperti ini, tak seperti keadaan manusia-manusia lain, hidup enak, kebutuhan selalu terpenuhi. Sedangkan aku, aku tercipta dengan fisik yang biasa-biasa saja, tak secantik Monicca Beluci, tak setinggi Fahrani, tak sepintar Gadis Arivia, tak sekaya Nia Dinata.
Pertanyaan itu bergelayut, terus membuatku menengadah ke atas, aku adalah realitas, aku ada, namun aku berbeda dari yang lain. Aku hanya diperintahkan untuk bersyukur atas semua yang telah diberikan kepadaku, sedangkan mencari rasa itu teramat sulit, bersyukur, bagaimana aku bisa bersyukur selama mataku masih bisa melihat hal-hal indah yang tak dapat kuraih, aku diperintahkan berdo’a untuk meminta, setiap saat aku berdo’a namun keinginanku tak terwujud, aku tak segera tumbuh tinggi seperti Kate Moss, akhirnya aku disuruh melihat ke bawah, banyak yang lebih tak seberuntung seprtiku, aku menjadi sedikit tersentuh, yah, ternyata tak catat sedikitpun pada fungsi tubuhku. Namun bukannya rasa tersentuh itu membuatku bersyukur, aku semakin bertanya-tanya, mengapa mereka diciptakan dengan keadaan demikian, mereka anak tukang becak yang tak dapat bersekolah sepertiku, mereka berkaki folio tak seperti kakiku yang mampu berjalan enak, aku menjadi rikuh kepada mereka dengan rasa syukurku karena aku tak diciptakan seperti mereka. Bagaimana perasaan mereka jika tahu aku bersyukur dengan keadaan diriku, meski aku tak lebih seperti orang-orang yang kulihat diatas, tapi aku tak mengalami hal seperti orang-orang yang kulihat dibawahku.
Rasa syukur itu tak adil bagiku, lalu orang-orang yang kulihat dibawahku, harus bersyukur seperti apa, orang-orang kelaparan di Ethiopia, siapa lagi yang bisa mereka lihat dibawah mereka untuk merasakan syukur.
Pertanyaan-pertanyaan itu tak bisa dijawab oleh kitab suciku, tak bisa dijawab oleh guru agamaku. Aku hanya dianjurkan untuk tawakal, teguh iman, dan bersyukur atas apa yang diberikan kepadaku. Akhirnya pertanyaan-pertayaan itu terus mengganjal hatiku, pasti ada sesuatu, pasti ada yang membuatku seperti ini, pasti ada yang membuat mereka seperti itu. Sehingga aku dan mereka tak serta merta ada di dunia ini. Pasti ada suatu sebab yang menjadikanku serta mereka ada dengan realitas masing-masing.
Ketiga… Atas apakah yang membuatku ada…
Setelah mendapati spekulasi pasti ada suatu sebab yang menjadikanku dan mereka ada dengan realitas masing-masing. Ada yang mengatakan padaku bahwa setiap manusia tercipta dengan membawa nasib yang telah ditentukan Tuhan. Pertama Tuhan meniupkan roh kepada vetus didalam rahim, Tuhan telah menentukan nasibmu, takdirmu, bagaimana kamu nanti, dan masalah-masalah apa yang akan kau hadapi, bagaimana kau hidup, dengan siapa kau berjodoh, dan dengan apa serta bagaimana kau akan mati.
Aku dianjurkan tawakal, terus berdo’a agar jalanku ke depan baik. Tapi bagaimana dengan do’a ku yang menginginkan segala kebaikan jika nasibku telah tertulis, apakah aku bisa merubah nasibku, apakah aku bisa merubah jodohku, dan apakah aku bisa merubah cara kematianku. Pernah kubaca kata-kata Tuhan dalam kitab suci “Bahwa Tuhan tidak akan merubah nasib suatu kaum tanpa kaum itu sendiri yang merubahnya”, lalu bagaimana kolerasinya dengan nasib yang dituliskan sejak pertama kali roh ditiupkan.
Apakah aku gila, dengan pertanyaan-pertanyaan itu, apakah aku melanggar ketentuan Tuhan, dan apakah aku terlalu sombong ingin tahu yang sebenarnya, dan apakah aku harus diam dengan dogma-dogma dan membiarkan segalanya menggajal lalu menguap begitu saja tanpa ada jawaban.
Aku merangkum hal yang sederhana, hanya sebuah contoh kasus, dan kusebut ketidakadilan atas Tuhan, atau jika boleh kusebut Tuhan ialah Yang pilih kasih: Ada dua calon bayi yang sedang dikandung oleh dua ibu, katakanlah bayi A dan bayi B, bayi A dilahirkan pada sebuah keluarga yang kaya, ketika pertama kali roh ditupkan kepada bayi A Tuhan telah menulis ketentuan takdirnya, bayi A ditulis dengan rejeki yang melimpah, jodoh yang baik, kematian yang sangat mudah. Sedangkan bayi B yang dilahirkan dikeluarga miskin, dituliskan takdirnya, rejekinya sedikit, jodohnya jelek, kematiannya sangat susah, dan tubuhnya cacat pula. Bolehkah aku ber-spekulasi bahwa Tuhan telah menuliskan takdir yang tidak adil kepada dua bayi tersebut. Ada apa sebenarnya disini, sementara aku sangat percaya bahwa Tuhan itu Maha Adil, tidakkah dengan rangkuman contoh kasusku menjadi sebuah kontradiksi atas kepercayaanku, akhirnya aku berpikir, pasti ada sesuatu, pasti ada sebab Tuhan menuliskan nasib kedua bayi tersebut, dan pasti ada sebab Tuhan menjadikanku dan mereka seperti realitas kini. Tidak mungkin Tuhan semena-mena menuliskan nasib kepada kedua bayi di atas tanpa pertimbangan tertentu. Apakah pertanyaan serta analisisku harus dibungkam dengan kata “biarlah itu menjadi rahasia Tuhan”. Sehingga lagi-lagi semuanya mengganjal dan hanya akan menguap tak berarti.
Aku menemukan sesuatu yang logis, dengan keganjalan-keganjalan atas pertanyaanku, bukan dari kitab suci dari agamaku, yaitu konsep reinkarnasi, saat ini hanya konsep itu yang mampu menjawab pertanyaanku dengan logis. Tuhan menentukan atau menulis nasib/takdir manusia saat pertama kali roh ditiupkan kepada vetus atas pertimbangan kehidupan sebelum roh tersebut. Mungkin aku mencontohkan diriku, sebelum kehidupanku sekarang ini dulu aku telah menjalani hidup, kebaikan serta keburukan telah dicacat, dan itu akan dinilai sebagai karma baik dan karma buruk. karma baik dan karma buruk bisa langsung kupetik dalam kehidupanku dulu, namun jika aku terlanjur mati dalam jasadku dulu, karena aku masih harus menebus karma buruk yang belum lunas kupetik, maka aku lahir dalam jasad yang baru, dan Tuhan menuliskan takdirku dikehidupan ini atas dasar perbuatanku di kehidupan dulu, bahwa karma baik dan karma burukku lah yang menjadi pertimbangan, jadi Tuhan sangatlah adil, tak serta merta begitu saja menuliskan atau mencipkan manusia dengan keadaan mereka. Kini aku bersyukur dengan kebedaan diriku, dengan keterbatasan yang kupunyai, dengan kelebihan yang diberikan. Dengan karma baik dan karma buruk yang kupetik dikehidupan ini.
Satu pengalamanku tentang permasalahan besar, aku pernah diperkosa oleh seseorang, padahal aku masih kecil, mengapa itu terjadi padaku, apakah aku pernah melakukan suatu kesalahan besar sebelumnya sehingga aku harus memetik pengalaman tidak mengenakkan tersebut. Setelah aku introspeksi sebelum aku diperkosa, sepertinya waktu itu aku masih kecil, dan anak sekecil itu tak mungkin melakukan kesalahan besar sehingga harus memetik karma buruk, dengan harus menerima kejadian diperkosa. Dulu memang kusebut Tuhan jahat, Tuhan tak adil kepadaku, mengapa bukan orang lain saja yang mengalami hal seperti yang kualami, apa salahku. Kini setelah kutemukan jawaban logis atas semua, aku menjadi ikhlas dengan kejadian yang menimpaku, dan aku tak menyebut Tuhan tak adil, tak menyebut Tuhan pilih kasih. Yah, semua karena diriku dan kembali kepada diriku, mungkin aku mempunyai karma buruk dikehidupan yang dulu yang belum lunas kupetik, sehingga aku memetik karma buruk itu di kehidupan sekarang, dengan masalah besar yang kuhadapi waktu kecil. Aku semakin meneguhlah logisnya hukum kausalitas. Aku mampu bersyukur dengan pertimbangan lain tak seperti dulu, yakni masih beruntung aku diperkenankan untuk menebus karma buruk dikehidupan ini, masih beruntung aku bisa memetik karma baik dikehidupan ini, dan masih beruntung aku diberi waktu untuk memperbaiki diri di kehidupan ini, sampai karma burukku habis kutebus, sehingga aku bisa kembali kepada Tuhan dalam keadaan suci, keadaan dimana aku tak mempunyai karma buruk lagi, hanya tinggal karma baik. Dan keadaan itulah yang memutus garis kehidupan lalu bersatu dengan Tuhan. Jadi, kata-kata Syeh Siti Jenar dapat kuselami maknanya “Manunggaling Kawulo Gusti”.
Entah mengapa aku menjadi tenang sekarang, aku melewati masalah-masalah yang kuhadapi dengan berlapang dada, tetap meneguhkan hati, percaya bahwa aku mampu melewatinya, dan membuat aku tak berputus asa terhadap masalah/ujian yang diberikan kepadaku. Yah, karena semua berawal dariku dan akan kembali padaku juga. Aku menjadi menghargai oranglain, mencintai orangtuaku meski dengan keterbatasan keadaan mereka, dan aku tak menjadi seorang yang mengeluh.
Terakhir… Untuk apa aku ada…
Aku tak membahas panjang, aku manusia, aku ada, aku menjalani hidup, aku di dunia, aku dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan.
Aku berpikir karena diriku dan untuk diriku, aku menarik kesimpulan, karena apa yang kupikirkan, berproses, menemukan jawaban dengan mengolah pikiran. Inilah tentang keberadaan diriku, tentang keberaan jiwaku, dan tentang keberadaan pikiranku. Namun aku menghargai proses berpikir seseorang karena kita menyelami diri dengan paham, proses, serta hasil masing-masing untuk kita, sehingga menurutku kebenaran itu tak mutlak, dari perspektif mana kita melihatnya, dari persperktif ku kah, atau andakah, atau mereka kah.
Ada satu yang terpenting di kehidupanku kini, aku ingin hidup nyaman, damai, tak perlu saling bertikai, karena itulah surgaku. Jadi, aku pikir tak perlu mencari mana yang salah dan mana yang benar, asal kita bisa hidup damai, dengan pemahaman kehidupan masing-masing dan tentunya saling menghargai segala bentuk perbedaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar