Kamis, 30 Desember 2010

Doktrin, Mistisisme, dan Kekuatan Pikiran

Doktrin, Mistisisme, dan Kekuatan Pikiran

Aku sering merasakan ada kekuatan atau sebuah energi yang tak dapat kujabarkan dengan rasionalisme, ketika aku berada di sebuah masjid atau gereja, aku merasakan kedamaian, ketenangan dan rasa aman, namun berbeda ketika aku berada di sebuah kuburan, aku merasa suasana menjadi mencekan, seolah ada ancaman kepada diriku yang akan datang sewaktu-waktu untuk menikam.

Dari pengalaman yang kurasakan itu, aku menjadi bertanya-tanya mengapa demikian, apa yang memuat rasa ku muncul bermacam-macam di tempat-tempat tertentu. Tentunya berawal dari sebuah cerita, ketika kecil aku sering mendengar cerita bahwa masjid adalah rumah Tuhan, di dalam masjid tak mungkin ada setan, setan akan terbakar. Sebuah cerita yang lain bahwa di kuburan adalah tempat hantu. Tanpa kusadari cerita-cerita itu telah mengendap ke alam bawah sadarku, dan bekerja secara otomatis menjadi sebuah rasa ketika aku berada di mana, rasa damai atau rasa takut. Padahal jika aku berada di masjid atau gereja, aku tak pernah melihat wajah Tuhan, pun demikian ketika aku berada di kuburan, aku tak pernah melihat hantu. Kini kusimpulkan bahwa rasa tersebut adalah hasil sebuah konstruksi pikiranku atas cerita-cerita yang telah men-doktrinku, dan tanpa sadar pikiranku telah me-resistensinya ke alam bawah sadar, yang membuat rasa damai atau takut itu bekerja secara otomatis.


Mengapa di kuburan ada hantu, bukan waktunya lagi kini aku percaya kepada cerita-cerita mistis, aku adalah makhluk rasional. Mana mungkin orang yang telah meninggal akan berubah menjadi hantu, itu sangat bertentangan dengan kepercayaanku, aku pun tak terima jika aku meninggal nanti akan berubah menjadi hantu gentayangan, roh-roh gentayangan. Namun atas pengakuan orang-orang yang pernah melihat hantu, kejadian demikian memang benar-benar ada. Lalu bagaimana aku harus menyikapinya.

Pertama aku sangat yakin alam memiliki energi, hal ini telah terbukti dari sebuah penelitian air, dimana molekul-molekul air akan menjadi indah jika kita memikirkan hal-hal yang positif, dan berbanding terbalik jika pikiran kita dipenuhi dengan hal-hal negatif. Mungkin alam jugalah demikian, ketika seseorang berada di sebuah kuburan, dalam pikirannya dipenuhi dengan mistisisme, alampun menangkap pikiran negatif tersebut dan mengirim sinyal energi negatifnya kepada kita. Energi yang kita tangkap tersebut semakin meneguhkan rasa cemas kita, dari rasa cemas ini bisa saja muncul halusinasi tentang obyek-obyek yang mengerikan yang sudah kita pikiran telah berada di tempat itu.

Dari buku yang pernah kubaca mengenai sebuah doktrin, kira-kira penjelasannya seperti ini. Pikiran-pikiran kosong yang terdoktrin dengan kuat, akan mempengaruhi kejiwaan sesorang, dalam artian mempegaruhi psikologi orang tersebut, sehingga kepercayaan muncul, dan dengan kepercayaan itu, kita cenderung mengarah kepada hal-hal yang menjadi deskripsi dari kepercayaan sendiri. Sebenarnya hal ini menunjukakan gejala kejiwaan dalam fase rendah, jika fasenya lebih tinggi gejala ini bisa dikatakan telah menjadi endemi bagi seseorang, hingga terjadi halusinasi, atau munculnya obyek real dari apa yang kita pikirkan. Jadi aku menyimpulkannya aku dan anda yang ketakutan berada di kuburan adalah orang-orang yang mengalami sakit jiwa meski masih dalam fase yang rendah. Tapi tenang saja, aku tak kan menyebut diri anda gila, mungkin lebih tepat pemikiranku lah yang gila, agar tak terjadi pertikaian antara aku dan anda.

Singa Betina

(untuk babi yang tersemat dalam jiwanya)

Aku tak lebih baik dari seekor babi.. rakus, dan berhasrat liar melepas dahaga dalam pelukan babi-babi yang lain, tak peduli lawan ataupun sejenis.. entah apa yang membuat hasratku waktu itu menggelegar liar,, yang ku tahu, aku enggan dan sama sekali tak ada ingin untuk meninggalkanmu, aku sungguh menginginkanmu selamanya.. aku seperti berada dalam lingkaran setan… serasa bahagia namun tersiksa… lalu menghancurkanku, berkeping-keping.. kau kekasihku saat aku benar-benar lugu, dan keliaranku datang memisahkan dirimu dariku tanpa inginku.. sungguh masih lugu kala kau mengajariku mencicipi arti cinta dan dosa.. lalu dosa itu mengusikku.. menumpuk dan menenggelamkanku dalam jiwa terpuruk.. hingga apa arti dosa, hilang sudah di atas kesadaran jiwa..

Titik, entah apa seketika tiba.. sungguh dingin pelukanmu, tak berasa… aku lari, lari ke dalam sesuatu yang hangat dan nyaman serasa di diri.. dan aku tiba-tiba menjadi seekor babi.. memeluk babi-babi lain dalam hasrat rasa nyaman yang kucari.. sangat sadar aku menyakitimu dalam ke-babi-an ku.. babi-babi lawan jenis itu memberi selimut hangat, namun sama sekali aku tak mengiginkannya untuk menemaniku hidup.. hanya kamu inginku.. Titik, entah apa datang lagi dalam kegelisahan dan rasa sayangku padamu… semakin tak berasa pelukanmu juga babi-babi lawan jenis itu… ku rengkuh babi sejenis yang membuatku terbius.. asing, namun hangat menemani jalanku yang tergopoh-gopoh mengejarmu.. tak ada ingin lagi dalam diri mengajak babi sejenis itu untuk hidup bersamaku, dan hanya kamu... semakin aku sadar bahwa diri ini enggan lepas darimu.. aku mengiginkanmu kala pada titik itu, tapi aku enggan meninggalkan hidupku yang menjadi tak lugu… dan aku kembali pada babi tak sejenis.. nyaman, lagi-lagi aku enggan untuk hidup selamanya dengan babi itu… hanya kamu… hanya kamu… lalu kamu memilih meninggalkanku saat jiwa terpuruk dan sakit menggigit.. saat kesadaran otakku terpotang-panting di antara hidupku yang tak lugu… dan kamu menyalahkanku, karena aku memilih menjadi babi.. karena aku tak memilih pilihanmu yang mengaku bukan seekor babi, dan aku membalikkan lembar ketidaktahuanku sampai aku tersebut menjadi babi rakus tak terurus..yah, tumpukan dosa yang menenggelamkanku dan mengerak di atas palung terdalam.. dosa yang aku tahu setelah mengenalmu..hingga berani aku bilang bahwa babi itu sebenarnya tersemat dalam jiwamu namun meledak dalam jiwaku… terselamatkanlah dirimu, akhirnya dalam jiwa yang tersemat itu, tak ada yang menyebutmu babi..tinggallah diriku sendiri, sepi, merintih dengan julukan babi rakus tak terurus… menjelmalah kini dirimu dalam kebahagian bersama dewi terpilih yang membawamu melayang utuh tanpa memperlihatkan ke-babian..

(untuk babi yang menjelma menjadi singa jantan)

Dan julukan babi itu masih melekat padaku… sampai pada saat itu kutemukan bukan seokor babi menawariku membopong berjalan dalam kepincangan.. meski inginku tak sepenuhnya hilang untuk bersamamu, bukan seokor babi itu, memberiku hidup baru,walaupun dalam ketidakluguanku, akhirnya aku tak menjadi seekor babi yang rakus.. hanya dia dalam jalanku kini, aku sebut diriku singa betina.. aku liar namun hanya dialah tumpahan hasrat jiwa.. dan dialah singa jantanku.. detik demi detik yang lambat kuhapus inginku untuk memilikimu.. aku hanya mau berjalan dengan singa jantanku… meskipun dia keras dan sewaktu-waktu mampu menerkamku .. tapi kusanggupi untuk menjadi singa betina yang setia..

Dan apakah mungkin aku salah dalam ke-singa-an ku???..

dan apa mungkin aku salah menyebutnya singa jantan??

Singa jantanku tersandung dan menjelma menjadi babi.. bersama babi betina ia menumpahkan hasrat, apakah singa jantanku muak dengan keliaranku sebagai seeokor singa betina? yang terlihat tak lembut, kusut, tidak seperti seeokor babi betina dengan kulit lembut semu merah kemudaan.. selayaknya boneka babi yang lucu dengan pita terikat cantik di salah satu telinga tipisnya yang menggoda.. dan tak sepertiku jika menjadi sebuah boneka singa, tak akan pernah terlihat cantik..

Singa jantanku menyesal telah berguling dalam lumpur kandang babi.. kini, ia bukan singa lagi yang setia.. ia harus menanti untuk menemani menggendong anak babi…Bagiku, singaku kembali menjadi singa jantan. Nantilah, apakah ia lahir menjadi singa atau babi…
Aku pun masih terdiam melihati kegetiran dalam ke-singa-an ku kini… dan aku tetap menjadi singa betina… bukan lagi babi rakus…

setelah babi yang menjelma menjadi singa jantan itu menanti, sama seperti diriku yang menanti menyaksikan apakah dalam perut babi betina itu penuh keajaiban dan melahirkan anak singa... ternyata benar dirimu adalah babi sama seperti babi betina,, itulah benihmu... anak babi,,,

Senin, 27 Desember 2010

Doktrin dan Sakit Jiwa

Ketika saya berumur 19 tahun…


Saya pernah mengalami depresi berat karena perbuatan saya sendiri. Kala itu saya yang meyakini sebuah larangan dan perintah yang dicamkan dalam agama saya, tiba-tiba satu larangan telah saya lakukan, dan kepercayaan saya karena sebuah larangan akan mendapat ganjaran dosa lalu masuk neraka menjadi hantu yang tiap hari mengejar-ngejar saya, seolah tiap sudut dimana saya berada menghakimi perbuatan saya sebagai satu dosa besar. Ketika sendiri, saya menangis histeris, menangis akan dosa tersebut, saya seperti orang yang tak bermanfaat lagi hidup di dunia, saya putus asa dan mengecam diri saya sebagai manusia laknat.

Mengapa hal tersebut terjadi kepada saya, kini saya berani menyatakan bahwa agama saya telah mendoktrin saya dengan dosa dan hukuman besar, hal-hal yang saya rasakan terjadi dalam diri sendiri, bisa disebut bahwa kecemasan dan depresi tersebut adalah gejala sakit jiwa, gejala yang menyerang neurotik saya, saya hampir hancur karena mengalami gejala neurosis, sebuah kecemasan besar.

Dari buku yang saya baca kecemasan adalah rasa yang muncul akibat terjadinya sebuah ancaman yang meng-invasi itegritas diri. Jika kecemasan terus menyerang bisa saja mempegarahui ketahanan neurotik, dan akhirnya menjadi depresi berkepanjangan. Sedangkan depresi berkepanjangan adalah gejala penyakit psizofrenia tingkat rendah. Yah, saya terserang depresi karena doktrin agama saya. tapi masih sangat beruntung bahwa ternyata pertahanan neurotik saya masih bekerja dengan baik, sehingga saya mampu berpikir jernih dan tak sampai melakukan bunuh diri.

Ada kata-kata Sigmund Freud yang saya sukai, karena ia sangat berani bilang seperti ini “ Umat beragama seperti pasien-pasien ku di rumah sakit jiwa”. Saya tahu Freud adalah seorang ateis, salah satu pasien yang ia sebut adalah saya.


Kini bisa saya bilang bahwa saya adalah seorang yang berusaha melepaskan doktrin-doktrin yang menjanjikan fantasi-fantasi ilutif. Dan atas usaha saya tersebut, saya mampu hidup damai atas diri saya sendiri, menerima diri ini apa adanya. Itulah diri saya sekarang. Namun bukan berarti saya tak percaya kepada Tuhan, mungkin bolehlah anda mengatakan bahwa saya adalah seorang yang agnostik.

Dendam, Uang di Mataku, Mataku Melihat Uang…

Sebuah cerita ketika aku lapar…


Sore itu perutku menjerit, memang belum ter-suply makanan sedikitpun dari kemarin.. Aku sama sekali tak punya uang tiga hari ini, aku tak bisa bergerak, tak kuasa meyakinkan otak ini untuk bekerja menghasilkan sesuatu.. Dan baru kali ini kualami, aku menangis karenanya… Karena lapar…

Mungkin hal yang sepele, aku lapar karena tak punya uang, tak seperti dulu.. biasanya aku menagis karena romantisme, kini yang membuatku menangis adalah uang…

Adalah materialisme, apakah aku materialistis, jawabannya iya, aku merupakan sebuah materi yang dapat kau raba, aku membutuhkan materi lain untuk mencukupi realitas materi yang menyusun tubuhku, jadi secara harafiah kusebut diriku sebagai makhluk yang bersifat oleh materi, atau materialistis…

Jika aku adalah ayam, egoku secara otomatis bekerja menuruti id yang mengirim hasrat untuk segera memenuhi rasa lapar itu. Aku tak kan peduli apa, dari mana, dan dengan apa aku memenuhi hasrat. Aku akan makan biji-bijian yang bercampur tai ku sendiri di tanah dan tak memperdulikan manusia-manusia yang lalu lalang di depanku.

Ternyata aku bukanlah se-ekor ayam, kala id-ku mengirim hasrat lapar kepada ego, ego ku masih berfungsi dengan kemampuannya melihat realitas dunia luar secara rasional dan realistik karena mendapat tekanan yang diberikan oleh super ego, bahwa ego-ku di beri perintah harus memenuhi hasrat tersebut dengan mempertimbangkan moralitas. Sehingga aku yang menyadari tak punya uang, harus diam sejenak untuk tak terburu-buru memenuhi hasrat.. Tekanan yang dilakukan super ego-ku kepada ego telah membuatnya me-resistensi hasrat ke otak bawah sadar. Mungkin akhir-akhir ini terlalu sering ego-ku me-represinya, tanpa disadari telah mempengaruhi emosi-ku dan meluapkannya dengan tangisan… Aku menangis karena lapar…

Salah satu biang keladinya adalah uang, entah mengapa pada masa-masa pertaruhanku yang memerlurkan uang untuk menyelesaikan sebuah tugas besar, harus kuhadapi kenyataan bahwa uang itu tak se-enak dulu kudapat… Sebelum kurasakan tangisan ini, aku mampu bertahan dengan memenuhi tuntutan ego-ku secara realistis, aku menghasilkan uang dari bekerja. Mengapa kini aku tak bekerja dari pada harus menagis, berkerja menjadi ambivalensi dalam keadaan pertahuhanku. Aku yakin mampu bekerja, namun pertaruhanku terbengkalai… Sedangkan tanpa uang pertaruhanku pun tak akan berjalan..

Aku tak hidup sendiri, aku masih punya orangtua yang merasa masih mempunyai tanggungjawab untuk menghidupiku, namun keadaan itu membuatku tak sanggup menyaksikannya… Aku enggan menyaksikan seorang ibu yang kini terpontang panting hanya karena ingin memberiku makan… Dan itu tak pernah terjadi dulu, besar harapan ibu untuk melihat hasil pertaruhanku, hingga ia tak kuasa melihatku bekerja demi uang… Ia menginginkan hasil maksimal dari pertaruhan-ku, setelahnya barulah aku terbebas dari mereka, dan mereka terbebas dari tanggungjawab… Aku tak ingin melihat lagi orangtua-ku susah, lagi-lagi karena uang.. Keadaan inilah yang membuatku dendam terhadap uang…

Sangat nampak jelas, aku terserang stres ketika sama sekali tak punya uang, sampai aku berpikir, ketiadaan uang tak membutku kreatif, ketiadaan uang tak memicu mesin otak-ku untuk mencetak sesuatu… Dan kekasihku menangkap itu, aku mengatakan kepadanya bahwa aku dendam dengan uang.. Suatu saat bukan lagi pembalut yang menampung darah haid-ku tatkala mengucur deras, tapi tumpukan uang kertas yang kulipat-lipat, dan bernominal paling panjang…

Pelegalan Persenggamaan

Ada seorang teman datang kepadaku membawa undangan pernikahan, pesta pernikahan itu dilakukan di sebuah hotel, pastinya akan sangat meriah dan mewah, semua orang datang memberi selamat dengan ucapan “Selamat Menempuh Hidup Baru”. Tak bisa dipungkiri pernikahan adalah bagian penting bagi umat manusia, merupakan satu tahapan hidup yang akan dilajani. Mengutip kata bijak, bahwa manusia mempunyai tiga tahapan hidup, kelahiran, pernikahan, kematian. Kelahiran dimana kita memulai kehidupan di dunia, belajar menjadi manusia, memahami dunia, memahami diri sendiri, dan hidup sendiri. Kemudian masuklah ke tahap pernikahan, dari tahap sebelumnya, manusia telah belajar mengenal dunia, belajar hidup sendiri, dan dalam tahap ini manusia menjalani hidup bersama pasangan, saling berbagi, bertanggungjawab bersama, menanggung beban hidup bersama, melaksanakan fungsi reproduksi untuk ditanggung bersama. Setelah itu tibalah ke tahap selanjutnya yakni kematian. Manusia akan menjalani proses hidup selanjutnya, yakni setelah kematian, aku tak paham bagaimana proses itu akan berjalan.

Mengenai tahap manusia dalam pernikahan. Di sini dua manusia dipertemukan, untuk menjalani hidup bersama. Manusia memang dikarunia otak untuk berpikir, bagaimana menjalani tahap kehidupan dalam pernikahan. Dan Tuhan membantu manusia dengan segala aturan yang diturunkan dalam kitab suci untuk memudahkan manusia menjalani tahapan ini. Aku sangat percaya Tuhan mempermudah hidup manusia dengan segala aturan dan larangan agar manusia tak terhindar dari permasalahan yang sulit. Meski manusia dikaruniai otak untuk berpikir, apakah iya manusia memanfaatkan fungsi otak untuk mempermudah hidupnya, aku pikir tak semua manusia memanfaatkan itu. Sehingga jika manusia terlalu sulit memikirkan hal-hal sederhana, telah dimudahkan oleh Tuhan dengan aturan dan larangan yang telah tertulis di masing-masing kitab suci sebagai panduan hidup manusia agar selamat menjalani hidup, aku meng-interpretasikan kata-kata Tuhan “agar selamat menjalani hidup” yakni manusia akan terhindar dari kesulitan, terhindar dari masalah yang besar, yang menyengsarakan.

Kau boleh menyebutku orang aneh, orang gila dengan tulisan ini. Aku hanya merasakan bahwa hanya ingin melakukan perseggamaan saja, harus disosialisasikan kepada orang lain, seperti temanku yang mengantarkan undangan pernikahan, pesta dilakukan di sebuah hotel, mengundang banyak orang. Aku bilang bahwa undangan pernikahan itu menyuarakan kepadaku “ayo datang ke pesta pelegalan persenggamaanku”. Ah pikiranku mungkin terlalu liar. Aku percaya Tuhan, aku percaya kata-kata Tuhan dalan semua kitab suci untuk mempermudah kehidupan manusia, tapi aku adalah manusia yang diciptakan dengan otak untuk berpikir, sehingga aku menyebut diriku dengan otak itu bahwa aku bukan manusia yang bodoh, aku bisa berpikir, aku mampu menganalisa semua tindakan yang membuatku menenui masalah atau membuatku tak mendapati masalah yang besar, sehingga aku bisa hidup damai, dan seperti kata-kata Tuhan “hidup selamat”. Yah aku sombong dengan kemampuan otakku, aku bisa hidup selamat dengan menganalisa segala hal yang membuatku berada dalam masalah atau tak mengalami masalah dalam hidup.

Pelegalan persenggamaan, memang mempermudah manusia-manusia yang tak mampu berpikir analitik, pelegalan itu untuk memperteguh komitmen bersama, dengan ancaman dosa dan masuk neraka jika menjalani hal-hal yang tertera dalam larangan yang tertulis ddalam kitab suci. Aku mengakui kebesaran Tuhan, Tuhan menyederhanakan perintah dan larangan agar manusia hidup selamat, dengan mengatakan untuk melakukan perintahnya maka akan diberi ganjaran pahala dan dijanjikan masuk surga, dengan mengatakan tidak melakukan larangannya, dengan ganjaran mendapat dosa dan masuk neraka. Aku sebut suatu sistem hidup selamat dengan deskripsi sederhana, lugas dan jelas. Sedang aku yang berpikir analitik, aku tak serta merta menelan mentah dan mempercayai adanya surga dan neraka. Aku percaya hukum kausalitas, aku percaya semua yang kulakukan akan membuahkan suatu akibat, baik positif ataupun negatif. Kini aku masih hidup untuk mengenal diri sendiri, mengenal di luar diri sendiri, memahami dunia, mengumpulkan kekuatan untuk hidup sendiri, sebelum aku memutuskan untuk berbagi hidup dengan oranglain. Aku pun tahu akibat dari persenggamaan, jika aku belum siap berbagi hidup dengan oranglain, aku akan menemui masalah besar, karena bersenggama adalah sebuah komitmen, untuk berbagi hidup dengan oranglain, memahani oranglain, menjaga hati oranglain agar tak tersakiti satu sama lain, yakni pasangan atau anak.

Dan aku tak perlu berkoar-koar tentang pelegalan persenggamaan, yang terpenting bagiku adalah bagaimana menjaga komitmen hidup bersama. Sangat percuma aku pikir ketika orang telah menikah sesuai prosedur, namun dia tak mempuyai konsistensi dengan komitmen yang tersirat dalam janji pernikahan tersebut, contoh real nya, ya mereka telah menikah, berarti mereka siap untuk berbagai hidup bersama, saling mencintai, menanggung hidup bersama, berkomitmen bersama, namun di tengah kehidupan pernikahannya ia tak memenuhi semua komitmen tersebut, kurang secara finansial untuk berbagi, menghadirkan orang lain dalam kehidupan berdua, bahasa kasarnya selingkuh atau bersenggama dengan orang lain, tak memenuhi kebutuhan anaknya. Aku bilang bodoh, mereka tak menyelami makna tersirat dari janji suci pernikahan dalam akad nikah yang telah mereka lakukan dengan mendatangkan saksi, membubuhkan tanda tangan, dan membuat sosialisasi telah halal bersenggama dengan sebuat pesta besar yang mengundang berjubel orang.

Aku tak perlu menikah, aku tak perlu melegalkan persenggamaan, aku lebih memilih berkomitmen lugas dari pada melaksanakan prosedur tersirat. Aku akan hidup bersama dengan orang yang kupilih yang menurutku cocok dan pas untuk menjalani hidup, bersenggama dengannya, menanggung hidup besama dengannya, mengatur hidup bersama dengannya, memutuskan melakukan fungsi reproduksi bersama dengannya, menanggung anak bersama dengannya. Semua sesuai komitmen yang akan kami bangun. Dan inilah menurutku pelegalan persenggamaanku. Sebuah komitmen berdua, meski tak perlu menikah. Dan kau boleh menyebutku gila.

Minggu, 19 Desember 2010

Lagi-lagi dengan Rasa Syukur

Tak sengaja kulihat sebuah video edukasi anak-anak, yang mengajarkan sebuah rasa syukur dengan mengucap kata “Alhamdulilah”…


Alhamdulilah kita bisa melihat…
Alhamdulilah kita bisa mendengar…
Alhamdulilah kita bisa bicara…

Dan alhamdulilah-alhamdulilah untuk yang lainnya atas kebesaran Tuhan telah memberikan kita berkah serta tidak satupun kekurangan yang diberikan kepada kita.. Hal ini pernah diajarkan kepadaku sewaktu kecil, Alhamdulilah aku tak buta sehingga bisa melihat keindahan anugrah Tuhan, Alhamdulilah aku tak bisu sehingga bisa bmengutarakan rasa syukur, Alhamdulilah aku tak tuli sehingga bisa mendengar ayat-ayat kitab suci..

Rasa syukur itu dapat terucap bagi kita yang dikaruniai tidak sedikitpun kekurangan dalam fungsi tubuh, jika aku mengucapkan rasa syukur, bagaimanakah dengan mereka yang dilahirkan buta, tuli, atau bisu… Tidakkah aku tak punya perasaan harus mengucap rasa syukur di depan mereka, bagaimana perasaan mereka yang terlahir tak sempurna jika mengetahui rasa syukurku yang diajarkan itu… Harus seperti apakah wujud syukur mereka telah dilahirkan dengan kondisi fisik demikian…

Orang-orang yang tak memiliki kondisi fisik yang baik tak kan lagi pernah mendengar ucapanku dengan rasa syukur di atas…

Seksualitas: Halal dan Haram

Halal dan haram, gadis itu hanya terdiam tatkala perbuatannya terhakimi dengan kata haram. Ia sangat paham apa yang disebut halal dan haram dalam kepercayaanya yang telah ditelan semenjak kecil. Namun sang gadis tak mampu menghindari kenikmatan dari perbuatannya, yah akhirnya ia memutuskan melakukan hubungan seksual di luar nikah yang disebut haram, lalu ia terjerembab kedalam dosa yang dipercayainya.

Mengapa disebut haram, sebenarnya sang gadis tak menyelaminya, ia berusaha menjalankan keyakinan itu dengan peraturan jelas, yakni penggolongan mana yang harus dilakukan dan yang tak sepantasnya dilakukan. Antara dosa dan pahala. Antara neraka dan surga. Perbuatan gadis itu sebenarnya adalah hal yang alamiah sebagai manusia, namun mengapa hal yang manusiawi harus dirumitkan dengan pernikahan, halal, haram, dosa. Jika dikatakan bahwa semuanya telah tertulis menjadi dogma, ada sedikit perasaan yang mengganjal tentang pertanyaan-pertanyaan kepada Tuhan mengenai seksualitas. Namun Tuhan hanya diam.

Sedikit membingungkan dalam benak saya, tentang kegundahan sang gadis dimana perbuatannya terhakimi oleh dosa yang diyakininya sendiri. Tak mungkin Tuhan menurunkan larangan dan perintah tanpa konsep yang kuat untuk membimbing manusia agar hidupnya teratur dan tak terjebak kedalam permasalahan yang terlalu rumit. Itulah rahasia Tuhan, konsep yang disusunnya tak serta merta akan menjadi semena-mena untuk manusia yang diciptakannya sendiri menjadi makhluk yang tersebut paling sempurna. Dengan sedikit otak yang mampu berpikir ini, bolehkah saya meraba konsep-Mu tersebut sebagai hipotesa pribadi tentang haram dan halal yang mengerucut pada seksualitas.

Dalam kajian heteronormativitas, seksualitas adalah kegiatan yang melibatkan organ genital antara laki-laki dan perempuan. Ketika manusia mulai berkembang menjadi dewasa, ditandai dengan fungsi siklus perkembangan organ genital, dimana sistem organ tersebut mengirimkan implus ke otak untuk memenuhi kegiatannya, yakni berupa libido. Namun manusia yang telah dewasa secara sistem genital belumlah dapat dikatakan dewasa secara sistem mental. Sistem mental inilah yang lebih rumit, menentukan apakah seseorang siap menghadapi permasalahan hidup. Sedangkan untuk mengembangkan diri menjadi pribadi yang bermental kuat, tentunya membutuhkan proses yang tak sedikit, memerlukan pengalaman serta penggalian ilmu. Keyakinan saya, Tuhan Yang Maha Mengetahui sangat menyangi makhluk ciptaanNya dan tak ingin makhlukNya tersebut berada dalam lingkaran permasalahan yang sulit, sehingga Ia menciptakan halal dan haram untuk kegiatan manusia yang alamiah ini, yakni dengan batasan pernikahan.

Betapa rumitnya jika saya bayangkan kehidupan tanpa pernikahan, yang mengikat dua manusia untuk saling setia dan menghargai. Manusia akan semena-mena mencari kenikmatan seksualitas tanpa menghargai obyek seksual tersebut. Yah, tepatnya hanya menginginkan sex dan tak menerima seutuhnya pasangan sex. Sungguh sangat menyakitkan, jika orang lain menginginkan saya hanya karena kelamin bekala, padahal kelamin saya seutuhnya adalah bagian dari tubuh saya, yang juga memiliki rasa atas jiwa yang ada. Dan sangat mengerikan jika, manusia-manusia baru muncul akibat hubungan seksual yang hanya mencari kenikmatan, andaikata calon makhluk baru tersebut terselamatkan karena tak digugurkan, dan mendapat pelegalan ikatan pernikahan oleh orangtua mereka, satu tantangan calon makhluk itu, apakah ia akan terpenuhi kehidupannya karena bentuk kesiapan mental orangtuanya, yakni dalam ruang finansial. Yah, mungkin itu permasalah yang rumit yang mampu saya urai dan saya yakin masih banyak permasalahan yang akan muncul, seperti penyakit akibat hubungan seksual dan lain sebagainya.

Dan bagi diri saya sebagai manusia yang tersebut menjadi makhluk sempurna dan dikarunia kecerdasan, dan dengan ditemukannya teknologi. Saya tahu bahwa sistem genital saya telah berkembang dan selalu mengirimkan impuls ke otak untuk memenuhi hasrat seksual. Saya ber-seksualitas sebagai manusia biasa. Hasrat tersebut jika saya represi, hanya menumbuhkan pikiran-pikaran yang dipenuhi fantasi karena represi libido. Dan itu sangat mengganggu alam bawah sadar saya. Namun saya sangat paham dengan akibat seksualitas. Pertanyaannya, mengapa saya tak menikah saja, dan saya belum mau menikah karena masalah finansial, saya mempunyai satu pasangan seksual, dan saya tak hanya mencari kenikmatan belaka karena obyek seksual saya riil dan seutuhnya manusia yang memiliki jiwa. Untuk itu saya sangat menghargainya, sebagaimana ia akan menghargai saya. Dengan adanya teknologi saya memanfaatkan untuk terhindar dari masalah ketidaksiapan ketika munculnya makhluk baru dalam rahim saya. Saya menghargai mono-komitmen seksualitas, hanya dilakukan oleh dua manusia.

Memahami Adanya Diriku

Siapakah yang membuatku ada, bagaimana mungkin tiba-tiba aku ada di dunia ini, atas apakah yang membuatku ada, untuk apa aku ada…

Aku mulai berpikir saat umur 22 tahun,

Pertama… Siapakah yang membuatku ada…
Yah, aku adalah manusia yang bervagina dan sangat biasa. Tak ada kelebihan dalam fisikku. Aku ada karena pertemuan sel sperma ayahku dan sel telur ibuku, lalu aku menjadi vetus yang berkembang dalam rahim ibuku, dan aku dilahirkan menjadi bayi dan mulai menghirup udara, menandakan aku telah bernapas, hidup sebagai manusia dan menjadi bagian dari dunia ini.

Aku bercermin, aku melihat setiap detail tubuhku, semua fungsi organku yang nampak, ketika melihat adanya diriku dalam cermin itu, aku tahu otakku bekerja untuk memahami keberaadaan apa yang bisa kulihat, dan kusebut saat itu aku berpikir. Tapi satu yang tak bisa kuraba dengan pikiran, yakni sesuatu yang tak berwujud, sesuatu yang menggerakkan tanganku, mengedipkan mataku, membuat jantungku berdetak, sesuatu yang terasa membuat dalam dadaku sakit. Dan dari perkataan orang, guru, kitab suci, buku. Bahwa apa yang bisa kulihat hanyalah fisik, ada yang tak bisa kulihat, yakni keberadaan nyawa yang mendekam dalam tubuhku, adanya jiwa yang membuatku bisa merasakan sesuatu. Berdasarkan kitab suci, saat aku masih berada dalam rahim ibuku, Tuhan meniupkan roh kepadaku, itu yang membuatku hidup. Saat melihat orang diam tak berdaya, tubuhnya kaku, jantungnya tak lagi berdetak, ia tak bisa menggerakkan sedikitpun tubuhnya, roh itu telah menghilang, Tuhan telah mencabut nyawanya sehingga ia mati, lalu membusuk, dan tubuhnya seperti tubuhku yang kulihat dalam cermin akan musnah. Sehingga aku yakin, ada suatu zat yang mengolah roh tersebut, dan memenjarakannya dalam tubuh hasil pertemuan sel sperma ayahku dan sel telur tubuhku, dari sinilah aku ada di dunia ini. Lalu aku percaya kuasa Tuhan. Tuhan membuatku ada dengan memberi roh atas fungsi reproduksi ayah dan ibuku, aku tahu tanpa Tuhan mengutus, sel sperma ayah dan sel telur ibuku terus bertemu, tanpa adanya roh yang ditupkan aku tak menjadi apa-apa dan segera musnah saat masih menjadi vetus.

Kedua… Bagaimana mungkin aku tiba-tiba ada…
Sebelum umur 22 tahun, aku adalah orang yang selalu menuntut Tuhan, Tuhan tak adil menciptakan aku, mengapa aku diciptakan dengan kondisi seperti ini, tak seperti keadaan manusia-manusia lain, hidup enak, kebutuhan selalu terpenuhi. Sedangkan aku, aku tercipta dengan fisik yang biasa-biasa saja, tak secantik Monicca Beluci, tak setinggi Fahrani, tak sepintar Gadis Arivia, tak sekaya Nia Dinata.

Pertanyaan itu bergelayut, terus membuatku menengadah ke atas, aku adalah realitas, aku ada, namun aku berbeda dari yang lain. Aku hanya diperintahkan untuk bersyukur atas semua yang telah diberikan kepadaku, sedangkan mencari rasa itu teramat sulit, bersyukur, bagaimana aku bisa bersyukur selama mataku masih bisa melihat hal-hal indah yang tak dapat kuraih, aku diperintahkan berdo’a untuk meminta, setiap saat aku berdo’a namun keinginanku tak terwujud, aku tak segera tumbuh tinggi seperti Kate Moss, akhirnya aku disuruh melihat ke bawah, banyak yang lebih tak seberuntung seprtiku, aku menjadi sedikit tersentuh, yah, ternyata tak catat sedikitpun pada fungsi tubuhku. Namun bukannya rasa tersentuh itu membuatku bersyukur, aku semakin bertanya-tanya, mengapa mereka diciptakan dengan keadaan demikian, mereka anak tukang becak yang tak dapat bersekolah sepertiku, mereka berkaki folio tak seperti kakiku yang mampu berjalan enak, aku menjadi rikuh kepada mereka dengan rasa syukurku karena aku tak diciptakan seperti mereka. Bagaimana perasaan mereka jika tahu aku bersyukur dengan keadaan diriku, meski aku tak lebih seperti orang-orang yang kulihat diatas, tapi aku tak mengalami hal seperti orang-orang yang kulihat dibawahku.

Rasa syukur itu tak adil bagiku, lalu orang-orang yang kulihat dibawahku, harus bersyukur seperti apa, orang-orang kelaparan di Ethiopia, siapa lagi yang bisa mereka lihat dibawah mereka untuk merasakan syukur.

Pertanyaan-pertanyaan itu tak bisa dijawab oleh kitab suciku, tak bisa dijawab oleh guru agamaku. Aku hanya dianjurkan untuk tawakal, teguh iman, dan bersyukur atas apa yang diberikan kepadaku. Akhirnya pertanyaan-pertayaan itu terus mengganjal hatiku, pasti ada sesuatu, pasti ada yang membuatku seperti ini, pasti ada yang membuat mereka seperti itu. Sehingga aku dan mereka tak serta merta ada di dunia ini. Pasti ada suatu sebab yang menjadikanku serta mereka ada dengan realitas masing-masing.

Ketiga… Atas apakah yang membuatku ada…
Setelah mendapati spekulasi pasti ada suatu sebab yang menjadikanku dan mereka ada dengan realitas masing-masing. Ada yang mengatakan padaku bahwa setiap manusia tercipta dengan membawa nasib yang telah ditentukan Tuhan. Pertama Tuhan meniupkan roh kepada vetus didalam rahim, Tuhan telah menentukan nasibmu, takdirmu, bagaimana kamu nanti, dan masalah-masalah apa yang akan kau hadapi, bagaimana kau hidup, dengan siapa kau berjodoh, dan dengan apa serta bagaimana kau akan mati.

Aku dianjurkan tawakal, terus berdo’a agar jalanku ke depan baik. Tapi bagaimana dengan do’a ku yang menginginkan segala kebaikan jika nasibku telah tertulis, apakah aku bisa merubah nasibku, apakah aku bisa merubah jodohku, dan apakah aku bisa merubah cara kematianku. Pernah kubaca kata-kata Tuhan dalam kitab suci “Bahwa Tuhan tidak akan merubah nasib suatu kaum tanpa kaum itu sendiri yang merubahnya”, lalu bagaimana kolerasinya dengan nasib yang dituliskan sejak pertama kali roh ditiupkan.

Apakah aku gila, dengan pertanyaan-pertanyaan itu, apakah aku melanggar ketentuan Tuhan, dan apakah aku terlalu sombong ingin tahu yang sebenarnya, dan apakah aku harus diam dengan dogma-dogma dan membiarkan segalanya menggajal lalu menguap begitu saja tanpa ada jawaban.

Aku merangkum hal yang sederhana, hanya sebuah contoh kasus, dan kusebut ketidakadilan atas Tuhan, atau jika boleh kusebut Tuhan ialah Yang pilih kasih: Ada dua calon bayi yang sedang dikandung oleh dua ibu, katakanlah bayi A dan bayi B, bayi A dilahirkan pada sebuah keluarga yang kaya, ketika pertama kali roh ditupkan kepada bayi A Tuhan telah menulis ketentuan takdirnya, bayi A ditulis dengan rejeki yang melimpah, jodoh yang baik, kematian yang sangat mudah. Sedangkan bayi B yang dilahirkan dikeluarga miskin, dituliskan takdirnya, rejekinya sedikit, jodohnya jelek, kematiannya sangat susah, dan tubuhnya cacat pula. Bolehkah aku ber-spekulasi bahwa Tuhan telah menuliskan takdir yang tidak adil kepada dua bayi tersebut. Ada apa sebenarnya disini, sementara aku sangat percaya bahwa Tuhan itu Maha Adil, tidakkah dengan rangkuman contoh kasusku menjadi sebuah kontradiksi atas kepercayaanku, akhirnya aku berpikir, pasti ada sesuatu, pasti ada sebab Tuhan menuliskan nasib kedua bayi tersebut, dan pasti ada sebab Tuhan menjadikanku dan mereka seperti realitas kini. Tidak mungkin Tuhan semena-mena menuliskan nasib kepada kedua bayi di atas tanpa pertimbangan tertentu. Apakah pertanyaan serta analisisku harus dibungkam dengan kata “biarlah itu menjadi rahasia Tuhan”. Sehingga lagi-lagi semuanya mengganjal dan hanya akan menguap tak berarti.

Aku menemukan sesuatu yang logis, dengan keganjalan-keganjalan atas pertanyaanku, bukan dari kitab suci dari agamaku, yaitu konsep reinkarnasi, saat ini hanya konsep itu yang mampu menjawab pertanyaanku dengan logis. Tuhan menentukan atau menulis nasib/takdir manusia saat pertama kali roh ditiupkan kepada vetus atas pertimbangan kehidupan sebelum roh tersebut. Mungkin aku mencontohkan diriku, sebelum kehidupanku sekarang ini dulu aku telah menjalani hidup, kebaikan serta keburukan telah dicacat, dan itu akan dinilai sebagai karma baik dan karma buruk. karma baik dan karma buruk bisa langsung kupetik dalam kehidupanku dulu, namun jika aku terlanjur mati dalam jasadku dulu, karena aku masih harus menebus karma buruk yang belum lunas kupetik, maka aku lahir dalam jasad yang baru, dan Tuhan menuliskan takdirku dikehidupan ini atas dasar perbuatanku di kehidupan dulu, bahwa karma baik dan karma burukku lah yang menjadi pertimbangan, jadi Tuhan sangatlah adil, tak serta merta begitu saja menuliskan atau mencipkan manusia dengan keadaan mereka. Kini aku bersyukur dengan kebedaan diriku, dengan keterbatasan yang kupunyai, dengan kelebihan yang diberikan. Dengan karma baik dan karma buruk yang kupetik dikehidupan ini.

Satu pengalamanku tentang permasalahan besar, aku pernah diperkosa oleh seseorang, padahal aku masih kecil, mengapa itu terjadi padaku, apakah aku pernah melakukan suatu kesalahan besar sebelumnya sehingga aku harus memetik pengalaman tidak mengenakkan tersebut. Setelah aku introspeksi sebelum aku diperkosa, sepertinya waktu itu aku masih kecil, dan anak sekecil itu tak mungkin melakukan kesalahan besar sehingga harus memetik karma buruk, dengan harus menerima kejadian diperkosa. Dulu memang kusebut Tuhan jahat, Tuhan tak adil kepadaku, mengapa bukan orang lain saja yang mengalami hal seperti yang kualami, apa salahku. Kini setelah kutemukan jawaban logis atas semua, aku menjadi ikhlas dengan kejadian yang menimpaku, dan aku tak menyebut Tuhan tak adil, tak menyebut Tuhan pilih kasih. Yah, semua karena diriku dan kembali kepada diriku, mungkin aku mempunyai karma buruk dikehidupan yang dulu yang belum lunas kupetik, sehingga aku memetik karma buruk itu di kehidupan sekarang, dengan masalah besar yang kuhadapi waktu kecil. Aku semakin meneguhlah logisnya hukum kausalitas. Aku mampu bersyukur dengan pertimbangan lain tak seperti dulu, yakni masih beruntung aku diperkenankan untuk menebus karma buruk dikehidupan ini, masih beruntung aku bisa memetik karma baik dikehidupan ini, dan masih beruntung aku diberi waktu untuk memperbaiki diri di kehidupan ini, sampai karma burukku habis kutebus, sehingga aku bisa kembali kepada Tuhan dalam keadaan suci, keadaan dimana aku tak mempunyai karma buruk lagi, hanya tinggal karma baik. Dan keadaan itulah yang memutus garis kehidupan lalu bersatu dengan Tuhan. Jadi, kata-kata Syeh Siti Jenar dapat kuselami maknanya “Manunggaling Kawulo Gusti”.

Entah mengapa aku menjadi tenang sekarang, aku melewati masalah-masalah yang kuhadapi dengan berlapang dada, tetap meneguhkan hati, percaya bahwa aku mampu melewatinya, dan membuat aku tak berputus asa terhadap masalah/ujian yang diberikan kepadaku. Yah, karena semua berawal dariku dan akan kembali padaku juga. Aku menjadi menghargai oranglain, mencintai orangtuaku meski dengan keterbatasan keadaan mereka, dan aku tak menjadi seorang yang mengeluh.

Terakhir… Untuk apa aku ada…
Aku tak membahas panjang, aku manusia, aku ada, aku menjalani hidup, aku di dunia, aku dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan.



Aku berpikir karena diriku dan untuk diriku, aku menarik kesimpulan, karena apa yang kupikirkan, berproses, menemukan jawaban dengan mengolah pikiran. Inilah tentang keberadaan diriku, tentang keberaan jiwaku, dan tentang keberadaan pikiranku. Namun aku menghargai proses berpikir seseorang karena kita menyelami diri dengan paham, proses, serta hasil masing-masing untuk kita, sehingga menurutku kebenaran itu tak mutlak, dari perspektif mana kita melihatnya, dari persperktif ku kah, atau andakah, atau mereka kah.

Ada satu yang terpenting di kehidupanku kini, aku ingin hidup nyaman, damai, tak perlu saling bertikai, karena itulah surgaku. Jadi, aku pikir tak perlu mencari mana yang salah dan mana yang benar, asal kita bisa hidup damai, dengan pemahaman kehidupan masing-masing dan tentunya saling menghargai segala bentuk perbedaan.