Senin, 27 Desember 2010

Dendam, Uang di Mataku, Mataku Melihat Uang…

Sebuah cerita ketika aku lapar…


Sore itu perutku menjerit, memang belum ter-suply makanan sedikitpun dari kemarin.. Aku sama sekali tak punya uang tiga hari ini, aku tak bisa bergerak, tak kuasa meyakinkan otak ini untuk bekerja menghasilkan sesuatu.. Dan baru kali ini kualami, aku menangis karenanya… Karena lapar…

Mungkin hal yang sepele, aku lapar karena tak punya uang, tak seperti dulu.. biasanya aku menagis karena romantisme, kini yang membuatku menangis adalah uang…

Adalah materialisme, apakah aku materialistis, jawabannya iya, aku merupakan sebuah materi yang dapat kau raba, aku membutuhkan materi lain untuk mencukupi realitas materi yang menyusun tubuhku, jadi secara harafiah kusebut diriku sebagai makhluk yang bersifat oleh materi, atau materialistis…

Jika aku adalah ayam, egoku secara otomatis bekerja menuruti id yang mengirim hasrat untuk segera memenuhi rasa lapar itu. Aku tak kan peduli apa, dari mana, dan dengan apa aku memenuhi hasrat. Aku akan makan biji-bijian yang bercampur tai ku sendiri di tanah dan tak memperdulikan manusia-manusia yang lalu lalang di depanku.

Ternyata aku bukanlah se-ekor ayam, kala id-ku mengirim hasrat lapar kepada ego, ego ku masih berfungsi dengan kemampuannya melihat realitas dunia luar secara rasional dan realistik karena mendapat tekanan yang diberikan oleh super ego, bahwa ego-ku di beri perintah harus memenuhi hasrat tersebut dengan mempertimbangkan moralitas. Sehingga aku yang menyadari tak punya uang, harus diam sejenak untuk tak terburu-buru memenuhi hasrat.. Tekanan yang dilakukan super ego-ku kepada ego telah membuatnya me-resistensi hasrat ke otak bawah sadar. Mungkin akhir-akhir ini terlalu sering ego-ku me-represinya, tanpa disadari telah mempengaruhi emosi-ku dan meluapkannya dengan tangisan… Aku menangis karena lapar…

Salah satu biang keladinya adalah uang, entah mengapa pada masa-masa pertaruhanku yang memerlurkan uang untuk menyelesaikan sebuah tugas besar, harus kuhadapi kenyataan bahwa uang itu tak se-enak dulu kudapat… Sebelum kurasakan tangisan ini, aku mampu bertahan dengan memenuhi tuntutan ego-ku secara realistis, aku menghasilkan uang dari bekerja. Mengapa kini aku tak bekerja dari pada harus menagis, berkerja menjadi ambivalensi dalam keadaan pertahuhanku. Aku yakin mampu bekerja, namun pertaruhanku terbengkalai… Sedangkan tanpa uang pertaruhanku pun tak akan berjalan..

Aku tak hidup sendiri, aku masih punya orangtua yang merasa masih mempunyai tanggungjawab untuk menghidupiku, namun keadaan itu membuatku tak sanggup menyaksikannya… Aku enggan menyaksikan seorang ibu yang kini terpontang panting hanya karena ingin memberiku makan… Dan itu tak pernah terjadi dulu, besar harapan ibu untuk melihat hasil pertaruhanku, hingga ia tak kuasa melihatku bekerja demi uang… Ia menginginkan hasil maksimal dari pertaruhan-ku, setelahnya barulah aku terbebas dari mereka, dan mereka terbebas dari tanggungjawab… Aku tak ingin melihat lagi orangtua-ku susah, lagi-lagi karena uang.. Keadaan inilah yang membuatku dendam terhadap uang…

Sangat nampak jelas, aku terserang stres ketika sama sekali tak punya uang, sampai aku berpikir, ketiadaan uang tak membutku kreatif, ketiadaan uang tak memicu mesin otak-ku untuk mencetak sesuatu… Dan kekasihku menangkap itu, aku mengatakan kepadanya bahwa aku dendam dengan uang.. Suatu saat bukan lagi pembalut yang menampung darah haid-ku tatkala mengucur deras, tapi tumpukan uang kertas yang kulipat-lipat, dan bernominal paling panjang…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar