Jumat, 14 Januari 2011

Poligami di Mataku…

Selalu saja aku menjadi seorang yang banyak bicara saat menanggapi relitas akan poligami, apa iya perempuan-perempuan yang tak menolak dipoligami oleh suaminya, sangat tulus melihat suaminya bermesraan dengan perempuan baru yang menjadi bagian dari hidupnya kini, apa iya ia sanggup berbagi atas cinta yang dulu dimilikinya utuh hanya oleh diri serta suaminya .



Mungkin petanyaan-pertanyaan benar terjawab iya jika akulah yang mengalami realitas poligami, mungkin tidak dengan perempuan-perempuan lain, apa kuasaku meraba perasaan perempuan lain dan memukul rata rasa itu hanya karena kami berjenis kelamin sama. Aku rasa tidak, kau dan aku memang berjenis kelamin sama, namun tidak dengan pemahaman kita, aku adalah orang yang sangat menentang poligami karena aku bukan seorang yang relijius, aku tak sanggup melihat hati orang yang kucintai utuh akhirnya harus dibagi dengan oranglain, apapun alasannya, dan apapun bentuknya, aku akan menjawab tidak. Meskipun dengan dalil kitab suci, aku tetap menjawab tidak, bukannya aku meragukan ayat-ayat kitab suci dengan mengesampingkannya, namun aku sangat paham diriku, apa yang membuatku nyaman dan tidak. Aku berhak menentukan hidupku sendiri, jika ayat-ayat suci membuatku tak nyaman, apakah aku harus memaksakan untuk ku anut. Tidakkah itu sebuah bentuk penetrasi kekerasan.

Aku akan sangat bangga melihat seorang perempuan yang bisa berbagi suami dengan oranglain, tapi dengan satu syarat tak akan sekalipun dari mulutnya mengeluh. Karena kuanggap seorang perempuan itu hidup dengan konsep diri atas ajaran agamanya yang kuat, sehingga ia tak merasa bermasalah harus membagi suaminya. Ia tetap merasa nyaman dan hidup tentram.

Aku tidak akan memepermasalah keyakinan yang kita anut masing-masing, baik keyakinan yang meneguhkan poligami sekalipun. Satu yang akan kupermasalahkan dan menjadi pertanyaanku kepada orang yang memutuskan poligami. Aku mengaitkannya dengan sebuah komitmen, apakah poligami telah menjadi salah satu komitmen ketika terikrar janji suci pernikahan sepasang suami istri, atau sepasang manusia yang akan memutuskan untuk hidup bersama, jika memang kesepakatan atas komitmen tersebut telah ada mengenai poligami sejak awal, maka sah saja untukku bagi mereka yang berpoligami, dan itulah orang yang total dalam memegang konsep yang mereka percayai, aku akan sangat bangga kepada mereka. Namun jika di awal sebuah komitmen sepasang manusia yang akan memutuskan hidup bersama tak pernah terlintas akan poligami dan tiba-tiba ditengah kehidupan yang dijalani, seorang suami mengutarakan keinginannya menghadirkan perempuan lain. Ialah kusebut sebagai seorang pecundang yang mengkambing hitamkan ayat suci untuk melegalkan persenggamaannya dengan orang lain diluar istrinya.